Pages

Subscribe:

04 September, 2009

MENGENAL LEBIH DEKAT LAILATUL QADAR, I'TIKAF, DAN ZAKAT FITRAH

SERIAL RAMADHAN KARIM III
MENGENAL LEBIH DEKAT LAILATUL QADAR, I'TIKAF, DAN
ZAKAT FITRAH
Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati***
Lisensi Dokumen
Copyright Aep Saepulloh, www.indonesianschool.org
Seluruh dokumen di www.indonesianschool.org dapat digunakan, dimodifikasi dan
disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak
menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam
setiap dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin
terlebih dahulu dari penulis, indonesianschool.org.
- 2 -
Pendahuluan
Setelah pada makalah kedua, kita sama-sama membahas persoalan-persoalan yang erat kaitannya
dengan Fiqhus Shiyam (Fiqih Puasa), pada makalah kali ini penulis mencoba menyuguhkan tiga persoalan
penting yang erat kaitannya dengan Ramadhan. Ketiga persoalan terebut adalah Lailatul Qadar, I'tikaf dan
Zakat Fitrah. Ketiga persoalan ini sengaja penulis pisahkan dari bahasan sebelumnya, mengingat ada
beberapa hal yang memerlukan perhatian khusus.
Lailatul Qadar misalnya, semua orang tentu sangat menanti-nanti dan berharap dapat meraihnya.
Namun, kapan ia terjadi, pada malam keberapa ia dapat dijumpai, persoalan-persoalan ini di antara hal
yang memerlukan perhatian tersendiri. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengetengahkannya, tentu
dengan melihat kepada sumber yang valid yakni hadits Shahih. Demikian juga dengan persoalan yang erat
kaitannya dengan I'tikaf dan Zakat Fitrah, semuanya membutuhkan konsen tersendiri. Karenanya, ketiga
bahasan tersebut, penulis suguhkan dalam makalah tersendiri.
Ada satu persoalan lagi sesungguhnya, yang masih terkait dengan tiga persoalan di atas, yakni
masalah Qiyamullail atau Tarawih. Pada awalnya, penulis mencoba mengetengahkannya berbarengan
dengan bahasan ini. Namun, karena bahasan Tarawih lumayan panjang, dan memang penulis bermaksud
menyuguhkannya secara detail, mulai dari hal-hal yang disepakati sampai persoalan yang diperselisihkan,
maka bahasan Shalat Tarawih ini, insya Allah akan penulis ketengahkan pada makalah berikutnya (Serial
Ramadhan Karim 4).
Di samping itu, kebetulan untuk makalah ini akan dipresentasikan oleh calon ustadzah-ustadzah
muda bersemangat yang masih duduk di bangku 1 SMP. Apabila penulis sertakan juga bahasan Tarawih,
dikhawatirkan terlalu memberatkan para presentator.
Namun demikian, insya Allah semuanya akan penulis suguhkan ke hadapan para pembaca dengan
harapan tentunya semoga makalah-makalah yang penulis sajikan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri, dan umumnya bagi para pembaca semua. Tidak lupa semoga makalah-makalah yang disuguhkan
menjadi 'ilman nafi'an (ilmu yang bermanfaat) yang pahalanya akan terus mengalir sampai penulis tiada
kelak. Akhirnya, hanya kepadaNyalah kita berbakti dan mengabdi, serta hanya kepadaNyalah kita akan
kembali. Selamat menikmati. Wallahu 'alam.
LAILATUL QADAR
Keutamaannya
Allah berfirman:
ةُ 􀑧 زَّلُ الْمَلَائِكَ 􀑧 هْرٍ * تَنَ 􀑧 فِ شَ 􀑧 نْ أَلْ 􀑧 رٌ مِ 􀑧 دْرِ خَيْ 􀑧 ةُ الْقَ 􀑧 دْرِ * لَيْلَ 􀑧 ةُ الْقَ 􀑧 ا لَيْلَ 􀑧 ا أَدْرَاكَ مَ 􀑧 دْرِ * وَمَ 􀑧 ةِ الْقَ 􀑧 ي لَيْلَ 􀑧 اهُ فِ 􀑧 ا أَنْزَلْنَ 􀑧 إِنَّ
(5- وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ آُلِّ أَمْرٍ * سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر (القدر: 1
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah
kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam
itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar" (QS. Al-Qadar: 1-5).
Dari ayat di atas, ada beberapa hal yang dapat ditarik sehubungan dengan keutamaan Lailatul
Qadar (malam qadar) ini, yaitu:
1. Allah menurunkan al-Qur'an pada malam ini (Lailatul Qadar). Sebagaimana telah disinggung pada
makalah pertama, bahwa al-Qur'an diturunkan pertama kali secara sekaligus semuanya kepada
Rasulullah saw pada malam Qadar. Setelah itu, baru al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur.
Dalil bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam Qadar adalah: "Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan (Lailatuh Qadar) (QS. Al-Qadar: 1-5).
2. Allah memuliakan dan sangat mengistimewakan malam ini. Hal ini terlihat dari firmanNya: "Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?" (QS. Al-Qadar: 2). Para mufassir (ahli tafsir)
mengatakan bahwa dengan pertanyaan seperti ini, menunjukkan keagungan dan kemuliaan dari malam
tersebut.
3. Ibadah yang dilakukan pada malam tersebut lebih baik daripada ibadah seribu bulan pada malammalam
lainnya selain Lailatul Qadar.
- 3 -
4. Malaikat pada malam ini turun ke bumi untuk mencurahkan rahmat, barakah dan ketenangan.
Sebagian ulama lain mengatakan para malaikat turun untuk menurunkan segala qadha (ketetapan
Allah) yang akan terjadi pada tahun berikutnya. Hal ini sebagaimana firmanNya:
لِينَ 􀑧 ا مُرْسِ 􀑧 إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَآَةٍ إِنَّا آُنَّا مُنْذِرِي نَ * فِيهَا يُفْرَقُ آُلُّ أَمْرٍ حَكِي مٍ * أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا آُنَّ
( (الدخان: 4,5
Artinya: "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya
Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,
Yang dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan
kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk dan sebagainya. (yaitu)
urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul" (QS. Ad-
Dukhan: 3-5).
5. Orang yang beribadah pada malam tersebut, akan diampuni segala dosa dan kesalahannya
sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
ه 􀑧 ر ل 􀑧 سابا غف 􀑧 ا واحت 􀑧 ضان إيمان 􀑧 ام رم 􀑧 عن أبي هريرة عن النبي صلى الله صلى الله وسلم قال : ((من ص
ما تقدم من ذنبه, ومن قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh
keimanan dan penuh pengharapan (ridha Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.
Demikian juga barangsiapa yang beribadah pada malam Qadar dengan penuh keimanan dan penuh
pengharapan, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni" (HR. Bukhari Muslim).
Waktunya
Tidak diragukan lagi bahwa Lailatul Qadar ada pada bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana
firman Allah berikut ini:
( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (القدر: 1
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan (Lailatul
Qadar)" (QS. Al-Qadar: 1).
( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ (البقرة: 185
Artinya: "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an" (QS. Al-
Baqarah: 185).
Namun, pada malam keberapa tepatnya? Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Ibnu Hajar
dalam bukunya Fathul Bari (4/309), mencatat bahwa pendapat seputar malam keberapa Lailatul Qadar itu
terjadi, sampai empat puluh pendapat. Namun demikian, Ibn Hajar melanjutkan bahwa menurut pendapat
yang paling kuat dan banyak bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((...فابتغوها فى العشر الأواخر)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "…Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh malam terakhir dari bulan
Ramadhan" (HR. Bukhari Muslim).
Banyak para ulama juga yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar ini ada pada setiap malam yang
ganjil dari sepuluh hari terakhir (21, 23, 25 dan seterusnya). Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((تحروا ليلة القدر فى الوتر من العشر الأواخر)) [رواه البخارى]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Carilah Lailatul Qadar itu pada setiap malam yang ganjil dari sepuluh
hari terakhir" (HR. Bukhari).
Demikian juga menurut sebagian besar para sahabat seperti Ubay bin Ka'ab bahwa Lailatul Qadar
ini ada pada malam ke dua puluh tujuh. Hal ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Imam Muslim dan
Turmudzi yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar itu ada pada malam kedua puluh tujuh.
Dari beragam pendapat tersebut, dapat penulis katakan bahwa pendapat yang paling kuat dan
sesuai dengan berbagai hadits, bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh malam terakhir terutama pada
malam-malam ganjil (21, 23, 35 dan seterusnya). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw berikut ini:
شر 􀑧 ى الع 􀑧 سوها ف 􀑧 سيته ا, فالتم 􀑧 م أن 􀑧 عن أبي سعيد أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((إنى رأيت ليلة القدر ث
شرين 􀑧 دى وع 􀑧 ة إح 􀑧 ا ليل 􀑧 عيد : مطرن 􀑧 و س 􀑧 ال أب 􀑧 ين ))...ق 􀑧 اء وط 􀑧 ى م 􀑧 الأواخر فى الوتر , وإنى رأيت أنى أسجد ف
- 4 -
صبح 􀑧 لاة ال 􀑧 ن ص 􀑧 صر ف م 􀑧 د ان 􀑧 ه وق 􀑧 رت إلي 􀑧 لم فنظ 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 فوآف المسجد فى مصلى رس
ووجهه مبتل طينا وماء)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Dari Abu Sa'id, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya saya melihat Lailatul Qadar kemudian
saya lupa. Carilah pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sesungguhnya
saya melihat bahwasannya saya sujud dalam air dan debu". Abu Sa'id berkata: "Pada malam kedua puluh
satu, hujan turun sehingga masjid menjadi berempetan dengan tempat shalat Rasulullah saw. Saya melihat
kepada beliau, ketika beliau selesai melaksanakan shalat Shubuh, dalam keadaan wajahnya basah dengan
air dan debu" (HR. Bukhari Muslim).
Meskipun dalam hadits di atas Abu Sa'id tampak bahwa Lailatul Qadar itu pernah terjadi pada
malam dua puluh satu, karena pada malam tersebut wajah Rasulullah saw dibasahi air dan tanah
sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, namun tidak berarti bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam
kedua puluh satu. Karena hadits-hadits tentang Lailatul Qadar ini semuanya shahih, maka penulis lebih
cenderung untuk mengatakan:
1. Lailatul Qadar terjadi pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan
2. Apabila pada sepuluh hari terakhir tersebut bertepatan dengan malam ganjil, maka lebih giat dan
meningkat lagi ibadahnya, karena pada malam ganjil Rasulullah saw pernah menyinggungnya sebagai
malam turunnya Lailatul Qadar.
3. Apabila berada pada malam kedua puluh tujuh, maka lebih tingkatkan lagi ibadahnya, karena
Rasulullah saw pernah menyebutnya dalam satu keterangan sebagai Lailatul Qadar:
ا 􀑧 ان متحريه 􀑧 ن آ 􀑧 در, فم 􀑧 ة الق 􀑧 روا ليل 􀑧 لم : ((تح 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ال رس 􀑧 ال : ق 􀑧 ر ق 􀑧 ن عم 􀑧 ن اب 􀑧 ع
فليتحرها فى ليلة سبع وعشرين)) [رواه أحمد والحديث صحيح]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Carilah Lailatul Qadar. Barangsiapa yang hendak mencarinya,
maka carilah pada malam kedua puluh tujuh" (HR. Ahmad dan haditsnya Shahih).
Demikian, persoalan yang erat kaitannya dengan waktu terjadinya Lailatul Qadar. Tidak
disebutkannya malam Qadar tersebut, tentu agar para hamba lebih giat dan semangat lagi dalam ibadahnya
terutama dalam sepuluh hari terakhir tersebut. Apabila Rasulullah saw menentukan malam tertentu,
kemungkinan besar, orang-orang hanya beribadah dengan giat pada malam tersebut saja. Inilah di antara
rahasia mengapa Rasulullah saw tidak menyebutkan malam tertentu turunnya Lailatul Qadar ini.
Apa yang harus dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tersebut?
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa menurut pendapat yang paling rajih, Lailatul Qadar
itu terjadi pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Untuk itu, pada sepuluh malam tersebut, amal
ibadah, qiyamul lail dan yang lainnya lebih ditingkatkan lagi. Hal ini juga yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah bahwa Rasulullah saw apabila berada pada
sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, beliau lebih bersungguh-sungguh lagi dalam ibadahnya:
عن عائشة قالت: آان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد ما لا يجتهد فى غيرها (رواه مسلم)
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw lebih sungguh-sungguh lagi (apabila sampai pada sepuluh
malam terakhir dari bulan Ramadhan) dalam beribadahnya, yang tidak beliau lakukan pada malam-malam
lainnya" (HR. Muslim).
Demikian juga, yang perlu dilakukan pada sepuluh malam terakhir ini adalah lebih memperbanyak
shalat qiyamu lail, sebaiknya sementara waktu tidak menggauli isteri terlebih dahulu, juga menganjurkan
kepada isteri dan anak-anak untuk lebih bergiat dalam ibadahnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah saw seperti dituturkan Siti Aisyah berikut ini:
ه )) 􀑧 ظ أهل 􀑧 ه , وأيق 􀑧 ا ليل 􀑧 زره , وأحي 􀑧 د مئ 􀑧 عن عائشة قالت : ((آان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر, ش
[رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw apabila berada pada sepuluh malam terakhir, beliau
mengikatkan dengan keras kain sarungnya (maksudnya menjauhi isteri-isterinya untuk sementara waktu),
lebih menghidupkan malamnya (memperbanyak qiyamullail dan ibadah lainnya) serta membangunkan
keluarganya (untuk beribadah juga bersamanya)" (HR. Bukhari Muslim).
Doa pada malam Lailatul Qadar
- 5 -
Di samping memperbanyak ibadah, pada sepuluh malam terakhir juga dianjurkan untuk
memperbanyak doa, terutama doa berikut ini:
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى (رواه الترمذى)
Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni
Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya Eukau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka maafkanlah saya"
(HR. Turmudzi).
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut ini:
مَّ 􀑧 ولى : اَللَّهُ 􀑧 ال : ((ق 􀑧 ا؟ ق 􀑧 ول فيه 􀑧 ا أق 􀑧 در , م 􀑧 ة الق 􀑧 ت أي ليل 􀑧 ت إن علم 􀑧 عن عائشة قالت : قلت: يا رسول الله , أرأي
إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى)) [رواه الترمذى وابن ماجه]
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana menurutmu, apabila saya mengetahui Lailatul
Qadar tersebut, apa yang sebaiknya say abaca?" Rasulullah saw bersabda: "Bacalah doa ini: Allahumma
innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni (Ya Allah, sesungguhnya Eukau Maha Pemaaf dan suka
memaafkan, maka maafkanlah saya)" (HR. Turmudzi dan Ibn Majah).
Oleh karena itu, sebaiknya doa tersebut dibaca setiap malam setiap selesai dua rakaat dari shalat
Tarawih juga dari shalat Witir.
Ciri-ciri Lailatul Qadar
Ada beberapa hadits dan keterangan yang memberikan gambaran dan informasi ciri-ciri malam di
mana Lailatul Qadar tersebut ada. Artinya, apabila pada malam tersebut terdapat cirri-ciri dimaksud,
maka kemungkinan besar Lailatul Qadar sedang terjadi pada malam tersebut. Ciri-ciri dimaksud adalah:
1. Udara sejuh dan angin tenang, tidak menggelebu. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut
ini:
ارة ولا 􀑧 ة , لا ح 􀑧 محة , طلق 􀑧 ة س 􀑧 در ليل 􀑧 ة الق 􀑧 لم : ((ليل 􀑧 عن الن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وس
ديث 􀑧 سى والح 􀑧 ة والطيال 􀑧 ن خزيم 􀑧 زار واب 􀑧 راء )) [رواه الب 􀑧 عيفة حم 􀑧 بيحتها ض 􀑧 شمس ص 􀑧 صبح ال 􀑧 اردة, ت 􀑧 ب
حسن]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Lailatul Qadar itu malam yang tenang, terang, udaranya tidak
panas juga tidak dingin. Matahari pada pagi harinya tampak sedikit ada warna kemerah-merahan "
(HR. Bazzar, Ibn Khuzaemah dan at-Thayalisi, haditsnya Hasan).
2. Malam tersebut tenang, damai karena malaikat pada turun untuk memberikan ketenangan hati,
kelapangan dada, dan ibadah terasa sangat nikmat yang tidak didapatkan pada malam-malam lainnya.
3. Orang-orang shaleh pada malam tersebut banyak yang bermimpi datangnya malam Qadar tersebut, hal
ini sebagaimana yang menimpa dan dialami oleh para sahabat dahulu.
4. Pada pagi harinya, matahari terbit dengan bersih, terang, tidak ada bercikan-bercikan sedikitpun
sebagaimana dalam hadits di bawah ini:
عاع 􀑧 شمس لا ش 􀑧 ع ال 􀑧 در تطل 􀑧 ة الق 􀑧 عن أبي بن آعب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((صبيحة ليل
لها, آأنها طست, حتى ترتفع)) [رواه مسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pagi hari dari Lailatul Qadar itu, matahari terbit dengan bersih
dan bening, tidak ada bercikan sedikitpun, seolah-olah matahari itu bejana yang sangat bersih,
sehingga ia meninggi" (HR. Muslim).
Sebagian orang berpendapat bahwa di antara cirinya bahwa pada malam tersebut nampak pohonpohon
sujud, garam tiba-tiba rasanya menjadi tawar, anjing tidak menggonggong dan lain sebagainya.
Ciri-ciri tersebut hemat penulis tidak tepat karena tidak ada keterangannya yang mengatakan demikian.
I'TIKAF
Pengertian
I'tikaf adalah berdiam diri di dalam mesjid dengan niat untuk beribadah. Orang yang
melakukannya disebut dengan mu'takif atau 'akif (lihat dalam al-Mishbah al-Munir: 2/424).
Waktu pelaksanaannya
- 6 -
I'tikaf sunnah hukumnya dilakukan pada bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah
saw berikut ini:
ان 􀑧 ا آ 􀑧 ام . فلم 􀑧 شرة أي 􀑧 ضان ع 􀑧 عن أبي هريرة قال : ((آان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف فى آل رم
العام الذى قبض منه اعتكف عشرين يوما)) [رواه البخارى]
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Rasulullah saw biasa melakukan I'tikaf setiap bulan Ramadhan selama
sepuluh hari. Kecuali pada tahun di mana beliau akan meninggal, beliau melakukan I'tikaf selama dua
puluh hari" (HR. Bukhari).
Waktu yang paling afdhal (paling utama) melaksanakannya adalah pada sepuluh hari terakhir di
bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
ز 􀑧 اه الله ع 􀑧 ى توف 􀑧 ضان حت 􀑧 ن رم 􀑧 ر م 􀑧 عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم : ((آان يعتكف العشر الأواخ
وجل)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw biasa melakukan I'tikaf pada sepuluh hari terakhir
dari bulan Ramadhan. Beliau melakukannya sampai beliau meninggal dunia" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah
melakukan I'tikaf selama sepuluh hari pada bulan Syawal. Hal ini beliau lakukan sebagai pengganti dari
I'tikaf bulan Ramadhan yang tidak sempat beliau laksanakan.
Apabila ada orang bernadzar untuk melakukan I'tikaf, maka ia wajib memenuhinya. Hal ini
sebagaimana yang menimpa Umar bin Khatab berikut ini:
ة أن 􀑧 ى الجاهلي 􀑧 ذرت ف 􀑧 ت ن 􀑧 ى آن 􀑧 ول الله , إن 􀑧 ا رس 􀑧 عن عمر بن الخطاب أنه قال للنبي صلى الله عليه وسلم : ي
أعتكف ليلة فى المسجد الحرام؟ قال: ((فأوف بنذرك فاعتكف ليلة)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: Umar bin Khatab pernah bertanya kepada Rasulullah saw: "Ya Rasulullah, saya dahlu pada masa
jahiliyyah pernah bernadzar untuk melakukan I'tikaf satu malam di Masjidil Haram?" Rasulullah saw
bersabda: "Penuhilah janjimu itu, I'tikaf lah satu malam" (HR. Bukhari Muslim).
I'tikaf hanya boleh dilakukan di dalam mesjid
I'tikaf hanya boleh dilakukan di dalam mesjid, tidak boleh di rumah atau yang lainnya. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
( وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاآِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (البقرة: 187
Artinya: "Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isteri) itu, sedang kamu beriktikaf dalam mesjid" (QS.
Al-Baqarah: 187).
Di samping ayat di atas, dalil bahwa I'tikaf hanya boleh dilakukan di dalam mesjid adalah bahwa
Rasulullah saw dan isteri-isterinya melakukannya di dalam mesjid. Kalau saja I'tikaf itu diperbolehkan
dilakukan di dalam rumah atau di selain mesjid, tentu Rasulullah saw dan isteri-isterinya tidak akan repotrepot
pergi ke mesjid. Demikian juga isteri-isteri Rasulullah saw tidak akan repot-repot mendirikan tenda
di dalam mesjid sebagaiman telah dibahas pada makalah kedua.
Hudzaifah dan Sa'id bin al-Musayyib berpendapat bahwa I'tikaf hanya diperbolehkan di tiga mesjid saja:
Mesjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha. Hal ini lantaran didasarkan sebuah riwayat yang
mengatakan:
لا اعتكاف إلا فى المساجد الثلاثة (رواه البيهقى)
Artinya: "Tidak ada I'tikaf melainkan di tiga mesjid saja" (HR. Baihaki).
Sedangkan menurut Jumhur ulama, I'tikaf boleh dilakukan di mesjid mana saja, meskipun mereka
berselisih apakah masjid tersebut harus mesjid jami' (mesjid besar) atau boleh juga di mesjid kecil.
Pendapat Jumhur ini didasarkan atas keumuman ayat di atas yang mengatakan bahwa I'tikaf dilakukan di
dalam mesjid dengan tanpa merinci mesjid apa dan mana saja. Untuk itu, diambil keumumannya bahwa,
I'tikaf boleh dilakukan di mesjid mana saja. Adapun riwayat yang mengatakan bahwa I'tikaf hanya boleh
dilakukan di tiga mesjid saja, riwayat tersebut diiperselisihkan keabsahannya. Pendapat jumhur ini, hemat
penulis, lebih tepat dan lebih rajih.
Syarat wanita beri'tikaf
Sebagaimana telah disebutkan pada makalah Serial Ramadhan Karim 2, bahwa wanita juga
diperbolehkan untuk melakukan I'tikaf. Untuk sahnya sebuah I'tikaf bagi wanita, disyaratkan dua hal:
- 7 -
1. Ada idzin dari suami
Hal ini sebagaimana dalam hadits disebutkan:
ستأذنته 􀑧 ضان , فات 􀑧 عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذآر أن يعتكف العشر الأواخر من رم
عائشة فإذن لها... (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: "Dari Aisyah bahwasannya Rasulullah saw menyebut bahwa beliau akan melakuakan I'tikaf
pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan. Lalu siti Aisyah meminta idzin kepada beliau untuk
melakukan I'tikaf juga, dan beliau mengidzinkannya" (HR. Bukhari Muslim).
2. Terhindar dari fitnah selama melakukan I'tikaf
Apabila I'tikaf yang dilakukan oleh wanita tersebut terhindar dari fitnah dan campur baur dengan
laki-laki bukan mahramnya, maka I'tikaf diperbolehkan kepada mereka. Namun, apabila malah
menimbulkan fitnah, atau tercampur dengan laki-laki bukan mahramnya, maka I'tikaf tidak
diperbolehkan bagi wanita. Hal ini sebagaimana disebutkan pada makalah kedua, bahwa Rasulullah
saw melarang isteri-isterinya melakukan I'tikaf ketika laki-laki sudah mulai lalu lalang. Dan apabila
wanita melakukan I'tikaf di dalam mesjid, maka ia harus menghalangi dirinya dengan penghalang,
karena mesjid biasa dilalui dan dipenuhi oleh laki-laki. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh isteri-isteri
Rasulullah saw.
Apakah orang yang beri'tikaf disyaratkan harus sedang berpuasa?
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat:
Pendapat pertama yaitu Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Siti Aisyah, Ibn Abbas dan Ibnu Umar juga
yang lainnya berpendapat bahwa I'tikaf itu tidak sah kecuali orang yang melaksanakannya dalam keadaan
puasa. Hal ini di antara alasannya, bahwa Rasulullah saw dalam banyak hadits disebutkan, beliau
melaksanakan I'tikaf pada sepuluh hari terakhir ini dalam keadaan puasa. Demikian juga dengan para
sahabatnya. Oleh karena itu, maka puasa adalah syarat seseorang boleh melakukan I'tikaf.
Pendapat kedua adalah pendapatnya Imam Syafi'i, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud juga yang
lainnya bahwa puasa bukanlah syarat sah I'tikaf, hanya sunnah saja. Artinya, orang yang melakukan I'tikaf
sekalipun ia tidak berpuasa, I'tikafnya tetap sah dan diperbolehkan. Namun apabila ia sambil berpuasa,
tentu itu lebih utama. Di antara dalil yang dijadikan dasar oleh kelompok ini adalah hadits Umar bin
Khatab yang telah disebutkan di atas, yaitu:
ة أن 􀑧 ى الجاهلي 􀑧 ذرت ف 􀑧 ت ن 􀑧 ى آن 􀑧 ول الله , إن 􀑧 ا رس 􀑧 عن عمر بن الخطاب أنه قال للنبي صلى الله عليه وسلم : ي
أعتكف ليلة فى المسجد الحرام؟ قال: ((فأوف بنذرك فاعتكف ليلة)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: Umar bin Khatab pernah bertanya kepada Rasulullah saw: "Ya Rasulullah, saya dahlu pada masa
jahiliyyah pernah bernadzar untuk melakukan I'tikaf satu malam di Masjidil Haram?" Rasulullah saw
bersabda: "Penuhilah janjimu itu, I'tikaf lah satu malam" (HR. Bukhari Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa Umar bin Khatab tetap diharuskan melakukan I'tikaf sekalipun
tidak berpuasa (karena tidak terjadi pada bulan Ramadhan). Pendapat kedua ini, hemat penulis, lebih tepat
dan lebih kuat; bahwa puasa bukanlah termasuk syarat sah melakukan I'tikaf, hanya sunnah saja. Hal ini
dikuatkan juga, sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Rasulullah saw pernah mengqadha I'tikafnya
pada bulan Syawal selama sepuluh hari, lantaran beliau tidak sempat melakukannya pada bulan
Ramadhan. Kalau saja I'tikaf itu harus sedang berpuasa, tentu Rasulullah saw tidak akan melakukannya
pada bulan Syawal. Wallahu 'alam.
Waktu minimal melakukan I'tikaf
Apakah ada batas minimal dan untuk sebuah I'tikaf?
Imam Malik berpendapat bahwa batas minimal sahnya I'tikaf itu adalah satu hari satu malam.
Dalam riwayat lain Imam Malik juga pernah berkata bahwa batas minimal I'tikaf itu adalah tiga hari atau
sepuluh hari.
Sedangkan menurut Jumhur, tidak ada batasan waktu minimal dan maksimal untuk I'tikaf.
Artinya, seseorang yang duduk di dalam mesjid dengan niat ibadah dan I'tikaf meskipun hanya sesaat atau
kurang dari satu malam, ia sudah disebut sebagai mu'takif (orang yang melakukan I'tikaf). Pendapat
jumhur inilah, hemat penulis, merupakan pendapat yang lebih kuat sebagaimana telah penulis paparkan
pada makalah pertama dan kedua.
- 8 -
Mereka yang mengatakan bahwa batas minimal melakukan I'tikaf itu adalah satu malam, tidak
lepas dari persyaratan puasa bagi orang yang I'tikaf. Puasa biasanya diakhiri dengan waktu malam, oleh
karena itu, karena mereka mensyaratkan orang yang melakukan I'tikaf itu harus puasa, maka batas
minimalnya pun adalah satu malam.
Kapan waktu untuk memulai dan berakhir orang yang melakukan I'tikaf?
Menurut Imam Auza'i, Imam Laits dan ats Tsauri bahwa I'tikaf itu dimulai dari setelah shalat
Shubuh. Oleh karena itu, orang yang akan melakukan I'tikaf, ia harus masuk mesjid setelah shalat Shubuh.
Apabila I'tikafnya pada sepuluh hari terakhir, maka ia harus sudah masuk ke mesjid pada waktu Shubuh
tanggal 21 Ramadhan.
Sedangkan menurut pendapat empat imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I dan Hanbali), bahwa
orang yang akan melakukan I'tikaf, harus masuk ke dalam mesjid beberapa saat sebelum matahari
terbenam (sebelum Maghrib). Apabila orang yang akan melakukan I'tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan, maka ia harus sudah masuk ke dalam mesjid pada waktu sebelum Maghrib tanggal 20
Ramadhan. Hal ini lantaran dalam bulan Qamariyyah (bulan Islam), diawalinya hari berikutnya itu
dimulai dari waktu terbenam matahari (Maghrib). Apabila sudah lewat Maghrib, berarti ia sudah masuk
pada hari berikutnya. Oleh karena itulah orang yang akan melakukan I'tikaf pada sepuluh hari terakhir, ia
harus sudah masuk ke dalam mesjid sejak sebelum Maghrib tanggal 20 Ramadhan.
Mengenai kapan waktu berakhir dan boleh keluarnya, juga terdapat dua pendapat. Menurut Imam
Malik, disunnatkan orang yang melakukan I'tikaf sepuluh hari itu, keluar dari mesjid (masa berakhirnya
itu) pada waktu pagi hari (setelah Shubuh) pada saat hari raya (1 Syawal). Sedangkan menurut Jumhur
ulama, orang yang melakukan I'tikaf boleh keluar dan berakhir masa I'tikafnya setelah waktu Maghrib
pada hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pendapat kedua ini, hemat penulis yang lebih kuat. Wallahu
'alam.
Hal-hal yang membatalkan I'tikaf
1. Keluar dari dalam mesjid tanpa ada udzur, alasan Syar'i (misalnya bukan karena sakit atau
lainnya), juga bukan karena ada keperluan mendesak dan sangat. Sementara apabila keluar untuk
maksud yang tertentu dan harus, seperti untuk mandi wajib, wudhu, buang air besar atau kecil, tentu
diperbolehkan.
Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam hadits, bahwa Rasulullah saw terus menerus berada di
dalam mesjid, kalau tidak ada keperluan yang sangat mendesak. Sampai-sampai beliau disisiri
rambutnya oleh Siti Aisyah pun di dalam mesjid.
سجد— 􀑧 ى الم 􀑧 و ف 􀑧 ه —وه 􀑧 دخل رأس 􀑧 لم لي 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ان رس 􀑧 ت: ((وإن آ 􀑧 شة قال 􀑧 ن عائ 􀑧 ع
فأرجله, وآان لا يدخل اليت إلا لحاجة إذا آان معتكفا)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Bahkan Rasulullah saw memasukkan kepalanya—sementara badannya
tetap berada di dalam mesjid--, lalu saya menyisirinya. Beliau apabila sedang I'tikaf tidak pernah
masuk ke dalam rumah, kecuali apabila ada keperluan yang sangat penting sekali dan mendesak (atau
tidak boleh tidak)" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Siti Aisyah pernah berkata: "Sunnah hukumnya bagi orang
yang sedang melakukan I'tikaf untuk tidak melayat orang sakit, tidak menghadiri orang yang
meninggal, tidak mencumbu atau mencium isteri, dan tidak keluar dari dalam mesjid kalau tidak ada
urusan yang sangat penting atau tidak boleh tidak".
Oleh karena itu, dalam hadits lain dikatakan bahwa apabila Siti Aisyah melakukan I'tikaf dan ia
keluar dari dalam mesjid lantaran ada keperluan yang sangat penting dan mendesak, apabila melewati
orang yang sakit, ia menanyakannya pun sambil jalan, tidak berhenti terlebih dahulu.
ه 􀑧 سأل عن 􀑧 ريض فت 􀑧 ر الم 􀑧 ا, تم 􀑧 ا لحاجته 􀑧 ى بيته 􀑧 ت إل 􀑧 ا إذا خرج 􀑧 عن عمرة قالت : آانت عائشة فى اعتكافه
وهي مجتازة لا تقف عليه (رواه عبد الرزاق وإسناده صحيح)
Artinya: "Umrah berkata: "Siti Aisyah apabila sedang I'tikaf lalu keluar dari dalam mesjid lantaran ada
keperluan yang sangat, kemudian ia melewati orang yang sakit, ia menanyakan saktinya itu sambil
jalan, tidak berhenti dahulu" (HR. Abdur Razaq dan sanadnya Shahih).
2. Jima' (berhubungan badan).
- 9 -
Para ulama telah sepakat bahwa apabila orang yang sedang melakukan I'tikaf kemudian ia
melakukan hubungan badan dengan isterinya itu dengan disengaja, maka I'tikafnya menjadi batal (lihat
dalam Bidayatul Mujtahid: 1/470). Hal ini dikarenakan dalam al-Qur'an disebutkan:
( وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاآِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (البقرة: 187
Artinya: "Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isteri) itu, sedang kamu beriktikaf dalam mesjid"
(QS. Al-Baqarah: 187).
Adapun hal-hal lain selain hubungan badan, seperti mencium atau mencumbunya dengan tanpa
memakai syahwat, maka hal itu diperbolehkan. Sekali lagi, dengan tanpa syahwat. Hal ini didasarkan
kepada hadits sebagaimana disebutkan di atas bahwa Siti Aisyah menyisiri rambut Rasulullah saw
ketika beliau sedang beri'tikaf. Namun, sunnah hukumnya apabila tidak mencium, tidak mencumbu
isteri sebagaimana yang dikatakan Siti Aisyah di atas.
Apa saja yang diperbolehkan bagi orang yang sedang I'tikaf?
1. Keluar mesjid karena ada keperluan yang tidak boleh tidak atau sangat mendesak dan penting, seperti
untuk makan, minum, buang air besar dan kecil, apabila hal tersebut tidak mungkin dilakukan di
dalam mesjid.
2. Melakukan hal-hal yang mubah seperti ngobrol, jalan-jalan ke penghujung mesjid atau tiduran dan
lainnya.
3. Menerima kunjungan isterinya, dan berduaan bersamanya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah saw ketika beliau dikunjungi oleh isterinya Ummu Salamah. "Ummu Salamah
mengunjunginya ke dalam mesjid, lalu keduanya ngobrol selama satu jam dan setelah itu, Ummu
Salamah berdiri. Rasulullah saw pun berdiri bersamanya, lalu menciumnya ketika berada di
penghujung pintu mesjid" (HR. Bukhari Muslim).
4. Membawa kasur atau ranjang ke dalam mesjid. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut
ini:
رير وراء 􀑧 ه س 􀑧 ع ل 􀑧 راش أو يوض 􀑧 ه ف 􀑧 عن ابن عمر أن النبي ص لى الله عليه وسلم آان إذا اعتكف طرح ل
إسطوانة التوبة)) [رواه ابن ماجه والحديث حسن]
Artinya: "Ibnu Umar menuturkan bahwasannya Rasulullah saw apabila ia beri'tikaf, beliau membawa
kasur atau meletakkan ranjang di belakang tiang taubat" (HR. Ibn Majah dan haditsnya Hasan).
5. Meminang atau melakukan akad nikah. Orang yang melakukan I'tikaf juga diperbolehkan untuk
melakukan meminang atau akad nikah. Namun, bagi yang menikah, ia tidak boleh melakukan
hubungan badan terlebih dahulu. Apabila ia melakukan hubungan badan, maka I'tikafnya batal.
6. Wanita yang mengeluarkan darah istihadah pun diperbolehkan untuk I'tikaf. Namun demikian, ia harus
tetap menjaga diri dari darah yang akan berceceran di dalam mesjid. Bolehnya ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عن عائشة قالت : اعتكف مع رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة مستحاضة من أزواجه فكانت ترى
الحمرة والصفرة فربما وضعنا الطست تحتها وهو تصلى)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Seorang wanita yang sedang istihadah pernah melakukan I'tikaf
bersama isteri-isteri Rasulullah saw. Maka tampak warna merah dan kekuning-kuningan di lantai.
Oleh karena itu, terkadang kami meletakkan kain atau wadah di bawahnya ketika ia sedang shalat"
(HR. Bukhari Muslim).
Hal yang sebaiknya dilakukan oleh mu'takif
Orang yang sedang melakukan I'tikaf, sebaiknya ia lebih menyibukkan diri dengan ibadah,
membaca al-Qur'an, dzikir, berdoa, membaca shalawat, belajar ilmu agama dan hal-hal lainnya yang
bermanfaat. Makruh bagi mu'takif untuk ngobrol, berbicara dan melakukan hal-hal yang tidak
berguna.
ZAKAT FITRAH
Pengertian
Zakat Fitrah adalah zakat yang dikeluarkan karena selesai puasa Ramadhan.
- 10 -
Hikmah disyariatkannya
Zakat Fitrah diperintahkan sebagai salah satu bentuk upaya untuk menyayangi, mengasihi orangorang
miskin juga untuk menggembirakan mereka pada Hari Raya Idul Fitri. Di samping itu, untuk
membersihkan diri dari kata-kata yang tidak layak atau kesalahan-kesalahan selama menunaikan puasa di
bulan Ramadhan (lihat dalam al-Mughni: 3/56).
Hal ini sebagaimana disiratkan dalam hadits di bawah ini:
و 􀑧 ن اللغ 􀑧 صائم م 􀑧 رة لل 􀑧 ر , طه 􀑧 اة الفط 􀑧 لم زآ 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 رض رس 􀑧 ال : ((ف 􀑧 اس ق 􀑧 ن عب 􀑧 ن اب 􀑧 ع
دقة 􀑧 ي ص 􀑧 صلاة فه 􀑧 د ال 􀑧 ا بع 􀑧 ن أداه 􀑧 ة , وم 􀑧 اة مقبول 􀑧 والرفث, وطعمة للمساآين , فمن أداها قبل الصلاة فهي زآ
من الصدقات)) [رواه أبو داود وابن ماجه بسند حسن]
Artinya: Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw mewajibkan Zakat Fitrah sebagai upaya untuk
membersihkan diri bagi orang yang sedang berpuasa dari perbuatan dan perkataan tidak pantas, serta
sebagai upaya untuk memberi makan orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum
shalat Idul Fitri, maka ia berarti zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya setelah
shalat Id, maka ia termasuk sedekah biasa" (HR. Abu Daud, Ibn Majah dengan sanad Hasan).
Hukum melaksanakannya
Zakat Fitrah diwajibkan bagi setiap muslim berdasarkan hadits berikut ini:
ن 􀑧 اعا م 􀑧 ر , أو ص 􀑧 ن تم 􀑧 اعا م 􀑧 ر ص 􀑧 اة الفط 􀑧 لم زآ 􀑧 ه وس 􀑧 عن ابن عباس قال : ((فرض رسول الله صلى الله علي
روج 􀑧 ل خ 􀑧 ؤدى قب 􀑧 ا أن ت 􀑧 شعير, على العبد والحر , والذآر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين , وأمر به
الناس إلى الصلاة)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw mewajibkan Zakat Fitrah berupa satu sha' kurma atau satu
sha' gandum bagi setiap muslim baik, hamba, orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil, maupun yang
sudah besar. Rasulullah saw juga memerintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk
melakukan shalat Idul Fitri" (HR. Bukhari Muslim).
Sa'id bin al-Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa firman Allah yang berbunyi:
( قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَآَّى (الأعلى: 14
Artinya: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)" (QS. Al-A'la:
14).
Kata "tazakka" (yang berzakat) dalam ayat di atas, oleh Said bin al-Musayyib dan Umar bin Abdul
Aziz dimaksudkan adalah Zakat Fitrah.
Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa Zakat Fitrah itu hukumnya wajib (lihat dalam al-Ijma'
karya Ibn al-Mundzir hal. 49).
Siapa saja yang wajib mengeluarkan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah wajib dikeluarkan apabila memenuhi dua syarat berikut ini:
1. Islam
Hal ini lantaran Zakat Fitrah merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah, dan hal
ini hanya harus dilakukan oleh orang muslim. Syarat ini diambil sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
ن 􀑧 اعا م 􀑧 ر , أو ص 􀑧 عن ابن عمر قال : ((فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زآاة الفطر صاعا من تم
ل 􀑧 ؤدى قب 􀑧 ا أن ت 􀑧 ر به 􀑧 سلمين , وأم 􀑧 ن الم 􀑧 ر م 􀑧 صغير والكبي 􀑧 ى وال 􀑧 ذآر والأنث 􀑧 ر , وال 􀑧 د والح 􀑧 ى العب 􀑧 شعير, عل
خروج الناس إلى الصلاة)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Ibnu Umar berkata: "Rasulullah saw mewajibkan Zakat Fitrah berupa satu sha' kurma atau
satu sha' gandum bagi setiap muslim, baik hamba, orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil,
maupun yang sudah besar. Rasulullah saw juga memerintahkan untuk dikeluarkan sebelum orangorang
keluar untuk melakukan shalat Idul Fitri" (HR. Bukhari Muslim).
2. Mampu untuk mengeluarkannya
Ukuran dan batasan mampu di sini adalah bahwa orang tersebut mempunyai kelebihan uang atau
makanan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggunganya satu hari satu malam
dari hari Raya Idul Fitri. Demikian pendapat Jumhur ulama (Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah).
Selama seorang muslim mempunyai kelebihan harta untuk biaya kebutuhan pokoknya dan orang-
11 -
orang yang menjadi tanggungannya selama satu hari satu malam hari Raya Idul Fitri, maka ia wajib
mengeluarkan Zakat Fitrah (lihat dalam Mughnil Muhtaj: 1/403, al-Mughni: 3/76).
Hal ini karena orang yang mempunyai makanan atau harta melebihi waktu satu hari satu malam,
maka ia sudah dianggap sebagai orang kaya, berdasarkan hadits di bawah ini:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((من سأل وعنده ما يغنيه فإنما يستكثر من النار)) فقال: يا رسول الله,
وما يغنيه؟ قال: ((أن يكون له شبع يوم وليلة)) [رواه أبو داود وبسند حسن]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang meminta-minta padahal ia mempunyai
makanan yang mencukupinya, maka sesungguhnya ia telah memperbanyak api neraka". Lalu salah
seorang sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, apa ukuran yang mencukupi (kaya) itu?" Rasulullah saw
menjawab: "Ia mempunyai makanan yang dapat mengenyangkannya untuk wakut satu hari satu
malam" (HR. Abu Daud dengan sanad Hasan).
Sedangkan menurut Hanafiyyah, Zakat Fitrah itu hanya wajib bagi mereka yang mempunyai harta
yang mencapai nishab (batas minimal seseorang mengeluarkan zakat) emas atau perak atau senilai
dengan itu (batas minimal atau nishab zakat emas dan perak adalah 84 gram. Ini artinya apabila satu
gram emas harganya Rp. 50 ribu, maka 84 gram sama dengan Rp. 4. 200.000) di luar kebutuhan pokok
dan rumahnya. Oleh karena itu, menurut Hanafiyyah, orang yang wajib mengeluarkan Zakat Fitrah
adalah yang mempunyai harta minimal Rp. 4.200.000, dan orang yang tidak mempunyai harta sebesar
itu, maka ia tidak wajib untuk berzakat Fitrah.
Pendapat di atas didasarkan kepada hadits berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا صدقة إلا عن ظهر غنى)) [رواه البخارى]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak wajib shadaqah kecuali apabila sudah ada kelapangan dan
melebihi kebutuhan" (HR. Bukhari).
Mereka berpendapat, orang fakir miskin tidak ada kelapangan dan bukan orang yang kaya untuk
itu, maka ia tidak ada kewajiban berzakat padanya. Demikian juga, orang fakir adalah orang yang
berhak menerima shadaqah, maka ini artinya ia tidak diwajibkan untuk mengeluarkannya, karena ia
dipandang orang yang tidak mampu (lihat dalam Fathul Qadir: 2/218, Hasyiyah Ibn Abidin: 2/360).
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk mengambil pendapat Jumhur ulama
dengan dasar:
1) Bahwa kewajiban membayar Zakat Fitrah, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, ditujukan
kepada seluruh kelompok muslim, baik laki-laki perempuan, besar kecil, hamba atau merdeka dan
tidak dikaitkan dengan kaya tidaknya, tidak seperti Zakat Mal (Zakat Harta) yang disyaratkan
hanya kepada orang yang kaya saja.
2) Zakat Fitrah bukan berkaitan dengan harta akan tetapi dengan diri orang yang melakukan puasa
Ramadhan, oleh karena itu tidak disyaratkan adanya nishab.
3) Hadits yang disodorkan oleh Hanafiyyah tidak dapat kita terima. Jumhur pun berpendapat bahwa
orang yang tidak mampu untuk membayar Zakat Fitrah, tidak ada kewajiban baginya. Hanya saja,
Jumhur membatasi mampu tersebut untuk Zakat Fitrah ini adalah yang memiliki makanan yang
dapat mengenyangkannya dan orang yang berada dalam tanggungannya selama satu hari satu
malam, bukan sebesar nishab emas dan perak. Demikianlah di antara dalil dan alasan bahwa
pendapat Jumhur Ulama lebih tepat dan lebih kuat.
Dari penuturan dan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa orang yang mempunyai makanan
atau harta yang dapat mengenyangkan selama satu hari satu malam untuk diri dan keluarga serta
orang-orang yang berada di bawah tanggungannya, wajib mengeluarkan Zakat Fitrah. Zakat Fitrah ini
harus dikeluarkan untuk dirinya juga untuk orang-orang yang berada di bawah tanggungannya.
Seorang suami yang mempunyai satu isteri dan 3 orang anak, maka Zakat Fitrah yang wajib
dikeluarkannya adalah untuk lima orang (dia dan keluarganya).
Karena Zakat Fitrah ini tidak berkaitan dengan harta, namun dengan orang yang berpuasa, maka
orang yang tidak begitu mampu pun tetap wajib mengeluarkan Zakat Fitrah ini. Namun demikian ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Seorang suami tidak wajib membayarkan Zakat Fitrah isterinya yang belum didukhul (belum
disetubuhi), karena sebelum didukhul, suami belum ada kewajiban untuk memberi nafkah.
2. Isteri yang pada saat Zakat Fitrah melakukan nusyuz, maka tidak ada kewajiban bagi suami untuk
membayarkan zakat fitrahnya. Ia harus berzakat fitrah sendiri.
- 12 -
3. Bagi yang beristerikan wanita Kitabiyyah (Nashrani atau Yahudi), tidak wajib membayarkan zakat
Fitrahnya.
4. Dalam Zakat Fitrah, sesuai dengan hadits di atas, anak kecil termasuk bayi yang beru dilahirkan
sekalipun wajib untuk dikeluarkan zakatnya. Kecuali janin. Para ulama dalam hal ini berbeda
pendapat mengenai apakah bayi yang masih berada di dalam perut ibunya wajib dikeluarkan zakat
fitrahnya atau belum. Bagi mereka yang memahami bahwa janin juga termasuk bayi yang masih
kecil, maka mereka mewajibkah orang tuanya untuk mengeluarkan zakat Fitrahnya. Sedangkan
bagi yang memahami janin itu bukan anak kecil, tidak mewajibkannya. Penulis lebih cenderung
untuk mengatakan bahwa apabila janin tersebut sudah berusia di atas empat bulan (sudah ditiupkan
ruhnya), maka sebaiknya dikeluarkan saja Zakat Fitrahnya, karena dalam bahasa Arab, janin
diartikan dengan anak yang masih di dalam kandungan ibunya. Karena sama-sama anak, maka
hukumnya pun disamakan dengan anak yang sudah keluar dari perut ibunya. Wallahu a'lam.
Jenis benda yang dapat dijadikan untuk Zakat Fitrah
Sebelum menginjak pada bahasan benda-benda atau makanan-makanan seperti apa yang dapat
dikeluarkan untuk Zakat Fitrah, terlebih dahulu perlu penulis ketengahkan, apakah boleh mengeluarkan
Zakat Fitrah dengan uang?
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak
membolehkan. Yang tidak membolehkan, mereka berdalil bahwa dalam banyak hadits dikatakan bahwa
Zakat Fitrah itu satu sha' dari kurma, atau sya'ir (gandum) dan tidak disebutkan uang atau qimah
(nilai)nya. Oleh karena itu, Zakat Fitrah hanya dapat dikeluarkan dengan kurma, gandum atau kebutuhan
pokok lainnya seperti beras, gandum, jagung dan sebagainya. Di samping itu, sesuai dengan sabda
Rasulullah saw, bahwa Zakat Fitrah ini bertujuan untuk mengenyangkan orang miskin pada hari Raya Idul
Fitri.
Mereka yang mengharuskan Zakat Fitrah dengan bahan pokok, kemudian berbeda pendapat, bahan
pokok apa saja yang diperbolehkan untuk berzakat Fitrah? Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa bahan
pokok yang boleh untuk dijadikan Zakat Fitrah itu hanyalah kurma, gandum saja. Hal ini karena hanya
dua jenis makanan pokok itulah yang disebutkan dalam hadits sebagaimana telah disebutkan di atas.
Sedangkan menurut Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Ibn Taimiyyah bahwa boleh dengan apa saja
selama hal tersebut termasuk bahan pokok, seperti beras, jagung, sagu atau lainnya. Penyebutan hanya
gandum dan kurma dalam hadits di atas, tidak berarti bahwa hanya itu yang diperbolehkan, namun itu
semua lantaran bahan pokok saat itu bagi penghuni Madinah adalah gandum dan kurma.
Sedangkan yang membolehkan membayar Zakat Fitrah dengan nilainya (dengan uang)
berpendapat bahwa Zakat Fitrah yang paling penting adalah untuk menggembirakan si miskin pada saat
Idul Fitri di samping untuk memberikan kebutuhannya. Uang termasuk benda yang dapat dipergunakan
oleh si miskin untuk memenuhi kebutuhannya juga, misalnya dengan jalan membeli barang atau makanan.
Bahkan, untuk konteks sekarang, uang justru lebih dibutuhkan oleh fakir miskin.
Hemat penulis, baik uang maupun bahan pokok, keduanya diperbolehkan untuk berzakat Fitrah.
Terlebih apabila yang berhak menerimanya lebih membutuhkan uang, misalnya. Untuk itu, hemat penulis,
orang yang akan memberikan Zakat Fitrah, sebaiknya melihat kebutuhan si fakir miskin tersebut; apabila
ia lebih membutuhkan kebutuhan pokok, maka berikanlah kebutuhan pokok. Namun, apabila lebih
membutuhkan uang, berikanlah uang, agar hal itu lebih pas dan lebih berguna bagi penerima.
Besar kadar Zakat Fitrah
Berapa besar kadar Zakat Fitrah itu? Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits di atas, bahwa
besar kadar Zakat Fitrah yang harus dikeluarkan itu adalah satu sha'. Satu Sha' sama dengan 4 mudd atau
sama dengan 1/6 takaran Mesir atau sama dengan kurang lebih 2, 157 Kg.
Oleh karena itu, mereka yang hendak mengeluarkan Zakat Fitrahnya dengan beras, maka minimal
sebesar 2, 157 Kg. Apabila akan mengeluarkan Zakat Fitrahnya dengan nilainya (dengan uang), maka
keluarkanlah seharga 2, 157 bahan pokok saat itu (untuk orang Indonesia seharga beras saat itu).
Kapan waktu mengeluarkan Zakat Fitrah?
Zakat Fitrah wajib dikeluarkan sebelum shalat Idul Fitri, sebagaimana disebutkan dalam hadits di
bawah ini:
- 13 -
ى 􀑧 اس إل 􀑧 روج الن 􀑧 ل خ 􀑧 ؤدى قب 􀑧 ر أن ت 􀑧 اة الفط 􀑧 لم بزآ 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 عن ابن عمر قال : ((أمر رس
الصلاة)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Ibnu Umar berkata: "Rasulullah saw memerintahkan agar Zakat Fitrah dikeluarkan sebelum
orang-orang keluar untuk melaksanaka shalat Idul Fitri" (HR. Bukhari Muslim).
ن 􀑧 اعا م 􀑧 ر , أو ص 􀑧 ن تم 􀑧 اعا م 􀑧 ر ص 􀑧 اة الفط 􀑧 لم زآ 􀑧 ه وس 􀑧 عن ابن عباس قال : ((فرض رسول الله صلى الله علي
روج 􀑧 ل خ 􀑧 ؤدى قب 􀑧 ا أن ت 􀑧 شعير, على العبد والحر , والذآر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين , وأمر به
الناس إلى الصلاة)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw mewajibkan Zakat Fitrah berupa satu sha' kurma atau satu
sha' gandum bagi setiap muslim baik, hamba, orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil, maupun yang
sudah besar. Rasulullah saw juga memerintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk
melakukan shalat Idul Fitri" (HR. Bukhari Muslim).
Menurut Hanabilah dan Malikiyyah juga Syafi'iyyah, bahwa permulaan waktu wajib untuk
mengeluarkan Zakat Fitrah itu adalah pada waktu ketika terbenamnya matahari (Maghrib) di hari terakhir
dari bulan Ramadhan. Sedangkan menurut Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah, awal waktu wajib untuk
membayar Zakat Fitrah ini adalah ketika terbit fajar pada hari Idul Fitri (lihat dalam al-Mausu'ah al-
Fiqhiyyah: 23/340).
Perbedaan pendapat mengenai permulaan waktu wajib ini berimplikasi pada persoalan bagaimana
hokum orang yang meninggal setelah matahari terbenam pada hari terakhir di bulan Ramadhan, apakah ia
wajib mengeluarkan Zakat Fitrah?
Menurut pendapat Hanabilah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah, wajib dikeluarkan Zakatnya, karena
ketika matahari terbenam ia masih hidup. Sedangkan menurut Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah, ia
tidak wajib membayar Zakat Fitrah, karena waktu wajib untuk mengeluarkannya adalah pada waktu terbit
fajar hari terkahir bulan Ramadhan. Dan ketika ia meninggal, waktu tersebut belum datang.
Demikian juga dengan kasus, wanita yang melahirkan putra atau putrid setelah terbenam matahari
pada hari terakhir bulan Ramadhan. Bagi yang berpendapat pertama, wajib, karena sudah masuk waktu
wajib, sedangkan pendapat kedua, tidak, karena belum masuk waktu wajib.
Mengeluarkan Zakat Fitrah boleh sebelum waktu wajib
Mengeluarkan Zakat Fitrah diperbolehkan pada satu atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Hal
ini berdasarkan riwayat berikut ini:
ومين )) [رواه 􀑧 وم أو ي 􀑧 ر بي 􀑧 ل الفط 􀑧 ون قب 􀑧 انوا يعط 􀑧 ا, وآ 􀑧 ذين يقبلونه 􀑧 ا ال 􀑧 عن نافع قال : ((آان ابن عمر يعطيه
البخارى ومسلم]
Artinya: "Nafi' berkata: "Ibnu Umar pernah memberikan Zakat Fitrah kepada orang-orang yang berhak
menerimanya (amilin, panitia Zakat) dan mereka menyalurkannya satu atau dua hari sebelum Idul Fitri"
(HR. Bukhari Muslim).
Apabila lupa tidak mengeluarkannya sampai waktunya habis, apakah gugur kewajibannya?
Seseorang yang lupa tidak mengeluarkan Zakat Fitrah sampai waktu memberikannya habis,
misalnya sampai habis waktu Shalat Id, maka para ulama sepakat bahwa kewajiban Zakat Fitrahnya tidak
gugur karenanya. Ia tetap diwajibkan untuk membayarnya sekalipun waktunya telah habis. Hal ini karena
Zakat Fitrah adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, sekaligus hak si hamba; selama ia belum
menunaikannya, maka ia masih berhutang sampai ia membayarnya.
Di samping itu, ia harus beristighfar dan menyesali kelupaannya itu dan sebaiknya tidak diulangi
pada tahun-tahun berikutnya.
Orang-orang yang berhak menerima Zakat Fitrah
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapakah mustahik yang berhak menerima Zakat Fitrah ini.
Menurut Jumhur ulama, bahwa orang yang berhak menerima Zakat Fitrah adalah delapan kelompok
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat at-Taubah ayat 60 (fakir, miskin, ibnu sabil, orang yang
banyak hutangnya, orang yang baru masuk Islam (mu'allaf), hamba sahaya, bangunan-bangunan
- 14 -
keIslaman (sabilillah) dan 'amil (panitia pengumpulan dan penyaluran Zakat) (lihat dalam al-Majmu':
6/144).
Sedangkan menurut Malikiyyah dan Syaikh Ibn Taimiyyah, bahwa orang yang berhak menerima
Zakat Fitrah ini hanyalah orang-orang fakir miskin saja (lihat dalam Majmu' al-Fatawa: 25/73). Dan
pendapat ini, hemat penulis, yang lebih tepat dan lebih kuat. Utamakan fakir miskin, kalau tidak ada baru
ashnaf (kelompok) lainnya, karena hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
و 􀑧 ن اللغ 􀑧 صائم م 􀑧 رة لل 􀑧 ر , طه 􀑧 اة الفط 􀑧 لم زآ 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 رض رس 􀑧 ال : ((ف 􀑧 اس ق 􀑧 ن عب 􀑧 ن اب 􀑧 ع
دقة 􀑧 ي ص 􀑧 صلاة فه 􀑧 د ال 􀑧 ا بع 􀑧 ن أداه 􀑧 ة , وم 􀑧 اة مقبول 􀑧 والرفث, وطعمة للمساآين , فمن أداها قبل الصلاة فهي زآ
من الصدقات)) [رواه أبو داود وابن ماجه بسند حسن]
Artinya: Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw mewajibkan Zakat Fitrah sebagai upaya untuk
membersihkan diri bagi orang yang sedang berpuasa dari perbuatan dan perkataan tidak pantas, serta
sebagai upaya untuk memberi makan orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum
shalat Idul Fitri, maka ia berarti zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya setelah
shalat Id, maka ia termasuk sedekah biasa" (HR. Abu Daud, Ibn Majah dengan sanad Hasan). Wallahu
'alam.
Penutup
Demikain sekelumit bahasan seputar Lailatul Qadar, I'tikaf dan Zakat Fitrah. Semoga bahasan ini
dapat menjadi bekal dalam menjalani puasa Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi. Apa yang benar
itu datangnya dari Allah dan RasulNya, sementara yang salah dan keliru itu datangnya dari kebodohan
saya dan dari syaithan. Wallahu 'alam bis shawab, allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad, wa 'ala
aalihi wa ashhabihi ajma'in, walhamdulillahi rabbil 'alamin.
***Makalah ini special dipersembahkan untuk kawan-kawan tercinta siswa siswi remaja Sekolah
Indonesia Cairo (SIC) pada pengajian rutin remaja Sabtuan di Mesjid Indonesia Kairo, Egypt.
Dipresentasikan pada hari Sabtu, tanggal 24 September 2005 di Hadiqah Dauliyyah, al-Hay as-Sabi',
Madinat nashr, Kairo.
Email: aepmesir@yahoo.com
Qatamiyyah, Senin 19 September 2005 pukul 2.30 dini hari.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.